Segenggam
Rumput Liar
Habis sudah semua rumput liar di
pekarangan rumah
kucabuti satu persatu sampai akarnya
tak bisa lagi mencengkram tanah berbatu
karena hendak diriku menanam mawar
di atas liang bekas Si Liar terpaku.
Mawar yang indah berwarna merah
semerbak bau sudah tercium
Oh, tapi duri
pada tangkainya melukai jemari
yang masih mulus saat aku mencabut
rumput liar tadi.
Menyesal kugenggam setumpuk hijau yang
kini telah layu
demi keindahan mawar yang ternyata
bertabur duri.
Tiga
Anak Kucing Berkalung
Tiga anak kucing berkalung
bermain-main di jalan berpasir
ekornya bergerak-gerak diburu kaki
depannya sendiri.
Tak hirau mereka walau banyak orang
lalu-lalang
abai saja pada sepeda motor yang berseliweran
Namun daun telinganya segera terangkat
saat derap langkah kaki yang dibungkus
sepatu tambalan menggema
disusul ‘eongan’ tanpa henti dari
mulut mungilnya yang dari tadi membisu
kaki-kaki bulatnya meluncur ke sela
pagar,
hendak menerjang pintu rumah yang
hanya terbuka sekilas lalu menutup
kembali seperti berhari-hari
meninggalkan tiga anak kucing
berkalung
di depan papan bergagang rindu
Awan
Hitam Hilang
Awan hitam itu selalu terparkir di
atas gubukku
yang reyot dan atapnya bolong-bolong
tepat jam satu siang saat aku akan
menjemur
baju satu-satunya yang selalu basah
oleh air mata.
Awan hitam itu tak pernah singgah di
tempat lain
yang layak disebut rumah bahkan istana
megah.
Air sialannya itu selalu membanjiri
lantai tanahku tanpa tahu malu
sampai atap
sampai perutku bengkak kemasukan air.
Suatu siang, awan hitam itu tak datang
lagi
lama berselang memakan waktu panjang.
Saat hari-hari awan hitam itu tak
datang,
air mataku mengering persis seperti
kulit dan tulang ini
dan tanpa sadar, kupanggil dia agar
mengguyur seperti biasa.
Namun kenihilan saja yang ada,
hingga seluruh rambutku memutih dan
tubuhku diselimuti kain putih.