Karya: Feng Jicai2
“Minggu Bersih-bersih
Nasional dimulai hari ini,” kata Sekretaris Zhao, “dan para pejabat di semua
daerah akan ikut serta dalam acara menyapu jalan. Ini daftar peserta
kita—seluruh pejabat teras kota dan para tokoh masyarakat. Kami baru saja
menyalinnya di kantor untuk Anda tandatangani.”
Lelaki itu tampak
seperti layaknya sekretaris eselon atas: kerah bajunya tampak rapi jail,
setelan jas militer Mao yang pas badan rapat terkancing; kulit wajahnya pucat;
kacamatanya fungsional. Lagak lagunya yang lembut dan santun serta suaranya
yang sengaja dimerdu-merdukan menyembunyikan karakternya yang keras dan gampang
naik darah.
Wali kota meneliti
daftar yang disodorkan sekretarisnya, seakan-akan kedelapan puluh nama yang
tertera adalah orang-orang yang terpilih untuk pergi ke luar negeri.
Berkali-kali ia menoleh ke langit-langit putih yang tinggi seraya berpikir
keras.
“Mengapa tak ada orang
dari Persatuan Perempuan?” tanyanya,
Sekretaris Zhao
berpikir sejenak. “Oh, Anda benar—itu dia! Kami sudah memasukkan seluruh kepala
jawatan kantor pemerintah di kota ini—Dewan Olahraga, Dewan Persatuan Pemuda,
Persatuan Buruh, Persatuan Sastrawan dan Seninam—bahkan beberapa guru besar
terkenal dari universitas. Yang terlupakan adalah persatuan perempuan.”
“Perempuan adalah
sokoguru masyarakat. Bagaimana mungkin kita melupakan perwakilan kaum
perempuan?” Sang wali kota lebih terdengar berpuas diri ketimbang kesal. Hanya
seorang pemimpin yang sanggup memikirkan segalanya. Inilah saatnya kepemimpinan
sejati memainkan peran.
Sekretaris Zhao
teringat ketika suatu kali Wali kota mengomel karena hidangan ikan tak
disajikan dalam jamuan makan untuk menghormati sejumlah tamu dari luar negeri.
“Tambahkan dua nama
dari Persatuan Perempuan dan pastikan mereka adalah petinggi atau orang yang
memiliki jabatan penting dalam organisasi itu. ‘Pemimpin Pawai Bendera Merah 8
Maret’ (Hari Buruh Perempuan Nasional), ‘Keluarga Para Martir’, atau ‘Buruh
Panutan’ boleh juga.” Seperti seorang guru SD yang mengembalikan PR yang buruk
kepada muridnya, Wali kota menyerahkan daftar nama yang belum lengkap itu
kepada sekretarisnya.
“Baik, Yang Mulia, saya
akan langsung mengerjakannya. Daftar yang lengkap akan berguna jika nanti ada
lagi acara semacam ini. Dan saya harus mengontak setiap orang secara bersamaan.
Acara menyapu jalan dijadwalkan pukul dua siang di alun-alun kota. Apakah Anda
bisa hadir?”
“Tentu saja. Sebagai
wali kota, aku harus memberikan teladan.”
“Mobil akan menjemput
Anda di gerbang rumah pukul satu tiga puluh. Saya akan mengiringi Anda.”
“Bagus,” sahut Sang
wali kota acuh tak acuh seraya menggaruk-garuk kepalanya dan membuang muka.
Sekretaris Zhao
bergegas pergi.
Pada pukul satu tiga
puluh siang, Sang wali kota melaju ke alun-alun dalam mobil limosinnya. Segenap
karyawan, penjaga took, pelajar, ibu rumah tangga, dan para pensiunan keluar
rumah untuk menyapu jalan dan udara begitu tebal oleh debu. Sekretaris Zhao
bergegas menutup kaca jendela mobil. Di dalam mobil hanya tercium bau samar
menyenangkan bensin dan kulit pelapis kursi.
Di alun-alun mereka
menepi di samping barisan limosin aneka warna. Di depan mereka sekelompok
pejabat tinggi dan orang penting telah berkumpul untuk menunggu kedatangan Sang
wali kota. Seseorang telah mengatur para polisi berseragam untuk berdiri
berjaga-jaga di setiap sudut.
Sekretaris Zhao
melangkah keluar dari limosin dan membukakan pintu lebar-lebar bagi bosnya.
Para pejabat dalam kerumunan yang tengah menunggu melangkah maju dengan wajah
tersenyum lebar menyambut Sang wali kota. Semua orang mengenalnya dan berharap
menjadi orang pertama yang menyalami tangannya.
“Selamat saing. Ah,
senang bertemu dengan Anda. Selamat siang—“ Sang wali kota berkata
berulang-ulang seraya menyalami mereka satu per satu.
Seorang polisi tua
mendekat, diikuti dua polisi lain yang lebih muda seraya mendorong gerobak
penuh sapu ijuk besar. Polisi tua itu memilih satu sapu paling bagus berukuran
agak kecil dan menyerahkannya dengan penuh hormat kepada Wali kota seperti
seorang Tibet menyerahkan hada—sapu tangan sutra sebagai tanda hadiah selamat
datang—kepada seorang tamu kehormatan. Ketika para orang terpandang lainnya
telah mendapatkan sapu mereka masing-masing, seorang petugas berseragam dengan
pita merah di lengan membawa mereka semua ke tengah alun-alun. Secara alamiah
Sang wali kota berjalan di paling depan.
Kelompok-kelompok orang
berdatangan dari tempat kerja mereka untuk menyapu lapangan alun-alun yang
luas. Melihat prosesi agung orang-orang yang menyandang sapu dengan iringan
para polisi dan petugasa yang diselingi jepretan kamera para fotografer ini,
para buruh itu menyadari bahwa iring-iringan itu adalah rombongan orang penting
dan mereka pun tertarik untuk melihat dari lebih dekat. Betapa luar biasa
seorang Wali kota menyapu di jalanan, pikir Sekretaris Zhao, yang dipenuhi rasa
bangga tanpa sadar saat dia berjalan di samping Wali kota dengan sapu
tersandang di bahu.
“Di sinilah tempatnya,”
ujar si petugas berpita merah ketika mereka telah mencapai titik yang telah
ditentukan.
Kedelapan puluh dua orang
terkemuka itu pun mulai menyapu.
Kerumunan orang-orang
yang melihat, yang terus dihalau menjauh oleh polisi, berceloteh ribut dengan
riang gembira, “Lihatlah orang yang di sebelah sana itu.”
“Yang mana? Yang
berbaju hitam?”
“Bukan, yang gemuk
botak berbaju biru.”
“Jangan ngobrol saja!”
bentak seorang polisi.
Alun-alun itu sangat
luas sehingga mereka bingung harus menyapu di sebelah mana. Pelataran yang
ditembok sudah tampak bersih. Tapi mereka mulai dari sana. Mereka menyapu
sedikit kotoran bolak-balik dengan sapu-sapu besar mereka. Sampah yang paling
mencolok adalah sehelai bungkus permen yang mereka kejar beramai-ramai seperti
anak-anak mengejar capung.
Para fotografer
merubungi sang wali kota. Sebagian bahkan merunduk dan menekuk sebelah lutut untuk
mencari gambar yang bagus dari sudut menyamping. Bagai segumpal awan di tengah
badai, sang wali kota terus menerus disinari oleh lampu kilat kamera. Lalu
seorang lelaki bertopi yang membawa kamera video menghampiri Sekretaris Zhao.
“Saya dari stasiun TV,”
ujar lelaki itu. Bisakah Anda meminta mereka semua berbaris dalam satu barisan
agar mereka tampak rapi di kamera?”
Sekretaris Zhao meminta
pendapat wali kota yang ternyata menyetujui permintaan ini. Orang-orang penting
itu kemudian membentuk satu barisan panjang dan mulai menggerak-gerakkan sapu
mereka demi kamera, tak peduli ada kotoran atau tidak di atas permukaan tanah.
Kamerawan sudah hendak
mengambil gambar ketika dia sekonyong-konyong berhenti dan berlari ke arah wali
kota.
“Maaf, Yang Mulia,”
ujarya, “tapi Anda semua harus menghadap ke arah lain karena Anda semua
memunggungi matahari. Selain itu saya juga ingin agar seluruh barisan berbalik
agar Anda berada di paling depan.”
“Baiklah,” kata sang
wali kota menyetujui dengan penuh semangat dan bergegas memimpin barisan,
seperti sekawanan penari barongsai, dengan gerakan yang wagu. Tak lama mereka
pun kembali menyapu.
Dengan senang hati
kamerawan itu berlari ke muka barisan, mengangkat ujung topinya, dan
membidikkan kamera ke arah wali kota. “Baiklah,” katanya saat kamera mulai merekam adegan,
“ayunkan sapu. Bersama-sama—lakukan dengan penuh penghayatan—ya, begitu! Tolong
angkat dagu, Yang Mulia. Tahan—bagus—ya!”
Dia mematikan kamera,
menjabat tangan sang wali kota, dan mengucapkan terima kasih karena telah
berkenan membantu seorang reporter jelata menunaika tugasnya.
“Mari kita sebut ini
hari yang luar biasa,” ujar si petugas berpita lengan merah kepada Sekretaris
Zhao. Lalu dia menoleh ke arah wali kota “Anda telah berhasil menyelesaikan
tugas mulia ini dengan gemilang,” ujarnya.
“Bagus—terima kasih
sudah repot-repot,” sang wali kota berbasa-basi seraya tersenyum dan berjabatan
tangan.
Beberapa wartawan
datang memburu wali kota. “Ada pesan, Yang Mulia?” seorang wartawan bertubuh
tinggi kurus bertanya dengan amat bersemangat.
“Tak ada pesan khusus.”
Wali kota berhenti berbicara sejenak. “Semua orang harus menjaga kebersihan
kota.”
Rombongan wartawan itu
menuliskan kata-kata berharga sang wali kota di buku catatan mereka.
Para polisi menyeret
kembali gerobak dan semua orang mengembalikan sapu mereka. Sekretaris Zhao
mengambil sapu di tangan wali kota dan menaruhnya di gerobak
Saatnya pergi. Wali
kota berjabat tangan lagi dengan semua orang.
“Selamat
tinggal—selamat tinggal—selamat tinggal—“
Yang lain menunggu wali
kota masuk ke dalam limosinnya sebelum mereka masuk ke limosin masing-masing.
Limosin sang wali kota
mengantarnya ke rumahnya. Di sana pelayan telah menyiapkan air mandi hangat dan
sabun wangi serta handuk bersih. Dia menikmati mandi santai dan keluar dari
kamar mandi dengan kulit kemerahan dan pakaian bersih, meninggalkan debu dan
letih di dalam bak mandi.
Saat dia menuruni
tangga rumah untuk makan malam, cucu lelakinya bergegas menyambunya di ruang
tengah.
“Kakek, lihat! Kakek
ada di TV!”
Di layar televise sang
wali kota tampak sedang melakukan pertunjukan menyapu jalan, layaknya seorang
aktor. Dia membuang muka dan menepuk bahu cucunya.
“Itu tak perlu
ditonton. Ayo kita makan.”
1
Cerpen ini diambil dari antologi Cinta
Semanis Racun, Diva Press, Yogyakarta 2016 terjemahan Anton Kurnia dari
“The Street Sweeping Show” terjemahan Susan Wilf Chen dari bahasa Mandarin
dalam antologi International Story, St. Martin Press, New York, 1994, Susunan
Ruth Spack.
2
Feng Jicai lahir di Tianjin, Tiongkok, 1942. Selain dikenal sebagai pengarang
terkemuka, dia adalah pelukis pemenang penghargaan. Pada 1966, saat terjadi
Revolusi Kebudayaan, buku-buku dan lukisannya dimusnahkan oleh penguasa karena
dianggap kontrarevolusi. Dia lalu dipaksa berhenti menulis dan melukis, dan
dihukum kerja paksa. Namun, diam-diam dia terus menulis mesti tak dapat
memublikasikan karya-karyanya yang kritis terhadap penguasa hingga 1977.
Beberapa karyanya (dalam terjemahan bahasa Inggris) adalah The Boxers (1977) dan Voices
From the Whirlwind: An Oral History of the Chinese Cultural Revolution
(1991).