Oleh : Nya’ Jeumpa Madani (Mahasiswi FKM UI 2017)
Staf Departemen
Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa (Adkesma) BEM UI 2018
Apa yang telah
anda dapatkan setelah kurang lebih menempuh 12 tahun pendidikan di bangku
sekolah?
Setelah
menghabiskan banyak waktu di bangku sekolah yang diwarnai dengan bangun di pagi
hari, mengikuti upacara setiap Senin, disetrap saat tak membawa tugas hingga olahraga
bersama guru penjasorkes, apa yang telah anda dapatkan? Setelah 12 tahun
mungkin anda jadi mengetahui bahwa manusia tegolong sama dengan hewan dalam
strata kingdom yang sama dengan hewan
pada klasifikasi mahluk hidup, lalu mengetahui bahwa beberapa kebudayaan
terdahulu meninggalkan peninggalan-peninggalan dari zaman mesolithikum,
neolitikum, paleolitikum dan sebagainya. Mungkin anda juga mempelajari
bagaimana membuat pantun. Dua larik sampiran disandingkan dengan dua larik atau
baris isi, maka didapatlah sebuah pantun yang bisa jadi pantun kegamaan,
persahabatan hingga pantun jenaka. Begitu banyak hal pragmatis yang kita
dapatkan dari menempuh pendidikan selama 12 tahun. Apakah itu cukup dan
relevan? Terkadang kita cenderung menerima sesuatu tanpa memikirkan lebih jauh
apa efeknya, atau yang lebih mendasar apakah
kita memerlukannya? Dimana kita menerima pelajaran dan cenderung tidak
mempertanyakan urgensi, esensi, atau hikmah dari mempelajari hal tersebut, dan
ini terus menerus berulang dari generasi ke generasi.
Kita
mengetahui bahwa kingdom protozoa
memiliki hanya satu sel, lalu apa? Kita mengetahui cara membuat puisi, pantun,
sajak, cerpen, bahkan novel, tapi kita tidak diajari bagaimana mengapresiasi
karya sastra, atau bahkan yang lebih fundamental, bagaimana menggunakan sastra
untuk menungkapkan apa yang sebenarnya ingin kita ungkapkan. Betapa pentingnya
kemampuan untuk mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin kita ungkapkan, tanpa
menimbulkan makna bias dan merugikan berbagai pihak. Kita diajari cara menggunakan
internet, namun tidak ditekankan bagaimana
mencari informasi yang benar-benar berguna, atau yang sedang cukup intens saat
ini adalah, bagaimana berperilaku dengan santun di media sosial. Kita diajari
tentang apa itu negara dan sistem kerjanya, seleksi hingga siapa saja yang ada
di jajaran pemerintahan, namun kita tidak diajari bagaimana cara menjadi warga
negara yang baik sehingga ikut membantu menyukseskan program-proram pemerintah,
sehingga pada akhirnya kita tidak mejadi rakyat yang hanya gemar meminta dan
menuntut. Kita memang tidak diajari, namun yang lebih parahnya lagi adalah kita
tidak bertanya.
Saya
rasa pendidikan di Indonesia tidak merasa perlu untuk menghubungkan apa yang
kita pelajari di sekolah dengan efek kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana
dengan mempelajari logika matematika, seharusnya data digunakan untuk berpikir
logis dan valid sesuai data yang ada. Bagaimana mencerna teks menjadi informasi
sehingga masyarakat kita tidak perlu khawatir dengan serangan berita hoaks karena pandainya masyarakat
Indonesia untuk memilah dan mengetahui tipe informasi yang benar.
Menurut
jurnal Evaluasi Sistem Pendidikan Indonesia yang disampaikan pada 2nd International Seminar on Quality and Affordable Education 2013 di Malaysia, disebutkan bahwa ada beberapa masalah yang harus diselesaikan
oleh sistem pendidikan antara lain
budaya korupsi, ketidakdilan penyebab kemiskinan, kondisi kerusakan lingkungan
hidup, budaya metarialistik, dan maraknya komersialisasi pendidikan. Hal ini
menunjukan bahwasanya terdapat kesalahan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Berbicara
mengenai pendidikan rasanya tidak lengkap apabila hanya dipandang dari segi
substansi pendidikan itu sendiri, kita juga harus meninjau dari segi asesmennya.
Sebagaimana pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada hasil, dibuktikan
dengan masih maraknya sistem rangking
di sekolah dasar, menengah pertama dan atas, maka hal tersebut juga dapat memicu
hasil didikan yang tidak berorientasi pada proses pembelajaran dan menghargai
ilmu pengetahuan. Dalam buku Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligence, Howard Gardner menyebutkan bahwa tidak ada, dan
tidak akan pernah ada suatu sistem yang
tak tebantahkan dan berlaku secara universal yang bisa mendeskripsikan
kecerdasan manusia. Apabila kecerdasan manusia tidak sepenuhnya bisa
dideskirpsikan, maka seharusnya juga tidak akan ada suatu sistem penilaian yang
dapat mengukur kecerdasan manusia seutuhnya. Karena mendeskripsikannya secara
utuh saja tidak bisa, seharusnya membuat tolak ukur indikator keberhasilan pun
sepenuhnya tidak bisa dilakukan. Hal ini yang kemudian seringkali dilupakan
dalam sistem pendidikan konvensional. Kita lupa bahwa urutan peringkat siswa di
sekolah tidak mencerminkan kecerdasannya seutuhnya, karena sistem sekolah hanya
berkisar pada mengukur bagaimana ia menyelesaikan permasalahan eksak dengan
penyelesaian yang benar, mengingat nama ilmiah hewan dan tanaman, menggunakan kalimat
dengan ejaan yang benar, tanpa mengukur bagaimana ia bisa memeberikan solusi
terbaik bagi suatu masalah dengan analisis yang matang, dan berbagai
permasalahan dalam hidup yang jarang rasanya kita ketahui solusinya dari
jenjang bangku sekolah.
Lalu setelah beratus-ratus kata, keluhan, dan evaluasi diatas, solusi apa yang dapat saya tawarkan? Berbicara mengenai mengubah sistem pendidikan di Indonesia saya rasa terlalu muluk adanya, kecuali anda bercita-cita menjadi menteri pendidikan yang sangat berpendirian teguh melawan badai birokrasi di negeri kita ini. Mungkin salah satu solusi kecil nan sederhana yang dapat saya tawarkan adalah dengan mengubah cara pandang dimulai dari diri sendiri. Mulailah mencoba untuk memaknai hal-hal yang kita dapat dan alami setiap harinya. Mulailah untuk mempertanyakan keberadaan dan urgensi dari keadaan di sekeliling kita, jangan selalu terbiasa dengan keadaan yang biasanya. Mulailah memberi pengaruh baik kepada lingkungan, terkhusus kepada mereka yang sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah atau bahkan universitas, untuk mulai mempertanyakan urgensi dan relevansi substansi yang mereka dapatkan dengan apa yang terjadi di sekeliling mereka. Beritahu mereka bahwa rasa ingin tahulah yang kemudian bisa mendorong manusia menemukan berbagai hal baru yang hebat yang kemudian bisa meringankan beban dari orang-orang di sekeliling, atau bahkan yang jauh dalam bilangan jarak, waktu, bahkan dimensi? Berikan pemahaman kepada murid atau bahkan wali murid atau bahkan guru, bahwa kecerdasan anak tidak diukur sepenuhnya oleh sistem yang ada saat ini, jadi bertindaklah sewajarnya karna hasil rapotan yang anda peroleh belum mengukur sebagian besar dari apa yang anda, anak anda, atau murid anda bisa lakukan di kemudian hari.